
Selepas terus-menerus mengalami perang saudara, akhirnya kaum pemberontak Sudan yang terus merongrong pemerintahan Muslim di Khartoum, berhasil memerdekakan diri membentuk Republik Sudan Selatan. Langkah pertama begitu merdeka, 9 Juli 2011, tentu saja, kemudian Sudan Selatan menjadi negara anggota PBB, tak sampai sepekan kemudian (14 Juli 2011). Dan, meski menguasai 80% deposit minyak negeri itu, Sudan Selatan merupakan salah satu negara termiskin dengan kemungkinan situasi kesehatan terburuk di dunia.

Pasalnya, begitu merdeka, Sudan Selatan, segera mengeluarkan mata uang sendiri - Pound Sudan Selatan. Ini juga untuk membebaskan mereka dari sanksi internasional di atas. Tapi, akibatnya, para pejabat Sudan Selatan - apalagi rakyatnya kocar kacir. Mereka tidak tahu harus berbuat apa atas uang sebesar hampir $ 1 milyar mata uang lama, yang digunakan sebelum Sudan terpecah menjadi dua negara, dan masih beredar luas.
Mereka, para politisi Sudan Selatan, berharap pemerintah Republik Sudan (Sudan Utara sekarang) di Khartoum, akan menarik kembali 'uang lama' dan menukarkannya dengan nilai yang setara tapi dalam dolar AS. Tapi, begitu Sudan Selatan meluncurkan mata uang baru pada bulan Juli itu juga, pemerintah Sudan Utara mengumumkan akan melakukan hal yang sama seminggu kemudian!
Rakyatlah yang paling dirugikan. Mereka terombang-ambing, ke sana kemari, menenteng-nenteng uang kertas, tak tahu nasibnya apakah kertas-kertas tersebut akan dinyatakan berlaku atau segera jadi kertas rongsokan. Ini mengingkatkan kita pada nasib saudara-saudara kita yang menyimpan uang rupiah, Rp 50.000 (bertahun 1993), bergambar Presiden Soeharto, yang tiba-tiba telah dinyatakan tidak laku!
Sumber : www.wakalanusantara.com
No comments:
Post a Comment