WAKALA DIRHAM BIMA

Friday 18 February 2011

Tersedia, Dokumen Perkembangan Dinar Dirham di Indonesia

Depok
Sebuah dokumen resmi penerapan Dinar Dirham

Untuk memberikan gambaran umum dan ringkas kepada khalayak luas WIN menerbitkan sebuah dokumen "Laporan Penerapan Dinar Dirham di Indonesia". Untuk disebarluaskan

Meski perkembangan penerapan Dirham dan Dinar telah berjalan sekitar satu dasawarsa banyak anggota masyarakat yang belum mengetahuinya. Untuk itu WIN telah menyiapkan sebuah dokumen berisi laporan ringkas mengenail hal tersebut. Dengan judul "Dinar Emas Dirham Perak untuk Kemakmuran dan Kejayaan Bangsa", dokumen setebal 12 halaman ini diformat dalam bentuk file pdf.

Dokumen ini diharapkan dapat dicetak, dikopi, dan sebarluaskan oleh siapa pun, untuk keperluan sosialisasi dan dakwah yang lebih luas.

Secara ringkas dokumen ini berisikan beberapa hal berikut:

  1. Pendahuluan

  2. Mengembalikan Sunnah yang Hilang

    1. Sebaga Alat Membayar Zakat

    2. Sebagai Tabungan dan Lindung Nilai

    3. Sebagai Sedekah

    4. Sebagai Mahar

  3. Keuntungan Dinar dan Dirham

    1. Nilainya yang Naik dari Waktu ke Waktu

    2. BPIH Turun dari Waktu ke Waktu

  4. Perkembangan Penerapan Dinar dan Dirham

    1. Jaringan Wakala

    2. Jawara (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar Dirham Nusantara)

    3. Festival Hari Pasaran

    4. Penarikan dan Pembagian Zakat, Infak, dan Sedekah

    5. Dinar, Dirham dan Fulus di Dunia Internasional

  5. Penutup dan Kesimpulan

Penerbitkan dokumen ringkas ini diharapkan semakin meningkatkan pemahaman dan pengamalan Dinar dan Dirham, di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia.

Dokumen dapat diunduh di sini

Monday 14 February 2011

Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah

Rahmat Affandi - Pegawai Pusdiklat Kementerian Agama, al-Wakil Wakala Radya

Setali tiga uang dengan produk murabahahnya bank syari'ah yang mengandung transaksi terlarang, produk mudharabahnya juga mengalami hal yang sama.

Pada artikel
sebelumnya, Amir Zaim Saidi pernah membahas tentang pengertian dan tata cara mudharabah/qirad dengan merujuk kepada kitab Al Muwatha karya Imam Malik, sebagai berikut:

  • Qirad adalah kontrak kerjasama pembiayaan dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama.
  • Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut.

Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb:

  1. Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.
  2. Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55
  3. Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena Agen/pelaku usaha menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.
  4. Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya usaha bersangkutan.
  5. Kontrak tidak boleh mensyaratkan jaminan dari Agen atas aset-aset berharganya kepada pemilik modal.
  6. Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha.
  7. Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik pemodal telah dibayarkan.

Sekarang mari kita telaah hukum qirad tersebut di atas dengan praktek mudharabah perbankan syariah.

A. Kejelasan Status Kepemilikan Modal dan Status Agen/Mudharib

Dalam poin ini jelas dinyatakan bahwa status modal adalah mutlak milik pemilik modal/shohibul mal dan status agen adalah orang yang mengelola modal/uang milik pemodal untuk usaha perdagangan . Namun hal ini tidak berlaku pada sistem perbankan syariah. Bank syari'ah memiliki status ganda, yaitu sebagai pemodal dan juga sebagai agen dalam satu waktu.

Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika pada pagi hari, bank berhubungan dengan nasabah (kreditur) pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, dimana pada siang harinya bank berperan sebagai pemodal, yaitu jika bank berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha. Status ganda yang diperankan oleh bank ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan selama ini adalah akad hutang piutang dan bukan akad mudharabah.

Jika bank berkilah bahwa dana titipan nasabah berbentuk wadhiah yad dhamanah (barang titipan yang bisa dipergunakan), dimana bank memiliki hak untuk menggunakannya, hal itu hanyalah akal-akalan hukum saja (pemelintiran istilah dayn/qard menjadi wadi'ah) agar bank memiliki legalitas mengelola titipan uang nasabah dan selanjutnya dapat menjalankan skenario mudharabah sebagai pemilik modal. Perlu diketahui, bahwa hukum asal barang titipan adalah mubah dengan ketentuan si penerima titipan wajib menjaga amanah barang yang dititipinya dan tidak boleh menggunakan barang titipan tersebut baik seizin maupun tanpa izin pemilik barang. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka si penerima titipan telah berkhianat karena tidak dapat menjalankan amanah.

Celakanya, dana nasabah yang berupa titipan/wadi'ah itu digunakan oleh bank untuk disalurkan kepada pihak ketiga, yaitu para pengusaha yang memerlukan modal usaha melalui skema mudharabah/bagi hasil, dimana bank bertindak sebagai pemilik modal/shohibul maal sedangkan pengusaha sebagai agen/mudharib. Kerancuan hukum mulai tampak pada skema mudharabah ini. Dana nasabah (wadi'ah) yang seharusnya dijaga dan tidak boleh dipergunakan, namun bank mempergunakannya untuk kepentingan bisnis demi mencari keuntungan dengan menyalurkan kembali kepada pihak ketiga. Dengan demikian, dalam pandangan Hukum Islam akad mudha
rabah versi bank syari'ah ini tidak dibenarkan dan berubah akadnya menjadi akad qard/dayn (peminjaman/piutang) karena bank memiliki hak kepemilikan utuh atas dana nasabah yang dititipkannya dan selanjutnya dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan kontrak bisnis yang mendatangkan keuntungan. Dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/ keuntungan, maka itu adalah riba.

Status berikutnya, yaitu bank bertindak sebagai mudharib (agen) juga tidak bisa diterima. Alasannya adalah ketika pemilik modal (nasabah) membuat kontrak mudharabah kepada pihak bank dengan cara menunjuk pihak bank sebagai pihak kedua (mudharib) yang akan mengelola dana nasabah dalam pembiayaan suatu usaha, ternyata bank melanggar kontrak tersebut. Hal ini terjadi karena bank tidak memilik usaha sektor riil yang akan mendatangkan keuntungan usaha, melainkan hanya produk perbankan yang semuanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Peran perbankan hanya penyalur dana nasabah dan tidak berperan sebagai pelaku usaha (mudharib) karena takut menanggung resiko usaha serta ingin mendapatkan keuntungan saja. Dikarenakan bank tidak memiliki usaha riil, maka lagi-lagi bank menyalurkan dana nasabah kepada pihak ketiga yang memerlukan modal usaha sebagaimana skema mudaharabah dengan menggunakan dana titipan nasabah (wadi'ah).

M. Arifin bin Badri, MA., dalam bukunya Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah, (Pustaka Darul Ilmi, 2009), hal. 164, mengutip perkataan Imam An-Nawawi sebagai berikut:

"Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan akad mudharabah. Jika ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah statusnya menjadi perwakilan/mediator bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan bagi dirinya sedikitpun dari keuntungan yg diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua tidak syah/batal".

Dengan demikian maka jelaslah bahwa status bank syari'ah dalam kontrak mudharabah sesungguhnya hanyalah perantara alias CALO dan bukan sebagai pemilik modal/shohibul maal ataupun pengusaha/mudharib. Jika bank mengklaim sebagai pemilik modal, maka ia mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yg dikelola adalah milik nasabah. Jika ia mengklaim sebagai pengusaha maka kenyataanya bank tidak memiliki usaha sektor riil dan menyalurkan kembali modal nasabah kepada pengusaha lain. Inilah tipu muslihat mudharabah a la bank islam yang jarang diketahui umat muslimin demi melegalkan serta melestarikan kapitalisme berbasis riba.

B. Bank Tidak Mau Menanggung Resiko Kerugian

Kondisi dalam kontrak mudharabah menyebutkan bahwa kerugian usaha ditanggung 100% oleh pemilik modal jika agen tidak melakukan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kerugian dan juga kondisi kontrak yang tidak membenarkan penyertaan jaminan asset/modal agen baik sebagian maupun keseluruhannya. (lihat penjelasan kondisi-kondisi mudharabah #3 dan #5 sebelumnya).

Namun kondisi-kondisi tersebut tidak berlaku dalam praktek mudharabah bank syari'ah. Bank tidak mau menanggung kerugian jika usaha mengalami kegagalan/kerugian. Jika terjadi kerugian usaha, niscaya bank akan meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Misalnya seorang pengusaha A yang mendapatkan kucuran modal dari bank syariah B untuk pembiayaan usaha penggilingan gabah dengan perjanjian bagi hasil 50% - 50%. Namun di tengah jalannya usaha, musibah terjadi pada A hingga mengalami kerugian usaha. Gudangnya terbakar, atau dirampok atau kejadian force majeur lainnya, sehingga modal yang tersisa di tangan A tinggal 30%. Dalam situasi seperti ini Bank Syari'ah B akan tetap meminta A agar mengembalikan modalnya secara utuh 100%. Kasus semacam ini tentu saja bertentangan dengan syarat dan kondisi mudharabah, dimana kerugian ditanggung 100% oleh pemilik modal, yaitu Bank B, karena kerugian terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian A yang melanggar kontrak perjanjian tetapi oleh hal-hal di luar itu.

Untuk menghilangkan resiko kerugian sedini mungkin, sebelum kontrak perjanjian disepakati, bank meminta jaminan asset/modal dari nasabah pelaku usaha yang selanjutnya akan dijadikan sebagai instrument pembayaran modal pinjaman jika terjadi kerugian atau kegagalan usaha. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi HUTANG PIUTANG yang berbunga alias RIBA.

Para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh jika terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil/tidak benar. (lihat Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni).

Sangat jelas bagi kita bagaimana perbankan syariah menampakkan wajah aslinya dalam pelaksanaan praktek mudharabah, yaitu sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya, Bank Konvensional !!! Saya menukil statemen Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis buku Perampokan Bangsa-Bangsa (Mizan, 2010) berikut ini: " perbankan syariah dan perbankan konvensional itu bukan cuma bersaudara kembar, tetapi adalah kembar siam!" Dan ternyata statement tersebut terbukti dalam praktek mudharabah bank syari'ah yang meyimpang dari praktek muamalah syar'iah, dimana bank tidak mau menanggung kerugian usaha dan meminta jaminan asset nasabah pelaku usaha. Praktek ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya - bank konvensional, hanya berbeda dalam istilah, yang satu bernama mudharabah sementara kembarannya bernama kredit usaha berbunga.

Jika demikian kondisinya, lantas DIMANA LETAK SYAR'INYA Bank Syari'ah? Bahkan ada bank syari'ah yang berani beriklan tanpa takut akan akibatnya (azab dari Allah subhanahu wa ta'ala karena telah merubah-ubah hukum-Nya) dengan mengusung jargon palsu "Pertama Murni Syariah"!!

Sebagai penutup saya menukil kisah yang dituturkan M. Arifin bin Badri dalam buku yang sama sebagai berikut:

Majalah MODAL edisi 36, tahun 2006, hal. 26 - 27 memuat kisah pemain 'Golf Syari'ah' berikut ini: "Ada sebagian pemain golf yg biasanya berjudi ketika bermain golf, telah menamakan kebiasaan judinya dengan 'golf syari'ah'. Cara yg mereka lakukan ialah dengan mengumpulkan uang judinya dengan sebutan Tabarru', bila dana yg telah terkumpul habis, kembali mereka mengumpulkan lagi dengan sebutan Shadaqoh. Dan bila telah habis, mereka mengumpulkan uang lagi dengan sebutan Infaq, dan demikian seterusnya. Pada akhir permainan, mereka mengecek siapa dari mereka yang paling banyak kalah (paling apes). Jika ada dari mereka yang kehabisan uang atau menderita banyak kekalahan , maka pemenang diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% kepada yang bersangkutan. Perilaku para pemain 'golf syari'ah' tersebut adalah haram, bahkan dosanya lebih besar dari pada pegolf judi lainnya. Karena selain menanggung dosa judi, mereka juga menanggung dosa mempermainkan istilah-istilah syari'at yg tidak pada tempatya. (kisah ini persis apa yang dimaksud perkataan Amir Zaim Saidi, yaitu dosa bank syari'ah 300% bahkan lebih besar dari itu daripada dosa bank konvensional 100%. Karena selain dosa akan akad/transaksi yang mengandung riba, ditambah dosa bank syari'ah yang telah mempermainkan istilah-istilah muamalat yang tidak pada tempatnya serta penyimpangan hukum mu'amalah syar'i dalam prakteknya).

Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak. Mereka mengakali pengharaman itu dengan cara mecairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan kemudian hasil penjualan lemak itulah yg mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum Yahudi ini, rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu". (HR. Bukhari dan Muslim).

Hasbunallahu wa ni'mal wakil... Masyaallah La Quwwata illa Billahi...

Sumber : www.wakalanusantara.com

Saturday 12 February 2011

Tidak Syar'inya Gadai Syariah

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Yang disebut sebagai gadai syariah tak lain adalah upaya menyembunyikan utang berbunga yang haram hukumnya

Gadai, atau rahn, adalah salah satu transaksi yang halal dalam muamalat. Secara bahasa kata rahn berarti tetap dan langgeng. Secara syariah gadai adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas kewajiban suatu hutang untuk dipakai sebagai alat bayar jika terpaksa, bila pada saat jatuh tempo pihak pengutang gagal melunasinya. Transaksi gadai, seperti halnya jual-beli, sah bila diawali dengan proses ijab dan kabul. Secara detil ada berbagai ketentuan berkaitan dengan gadai ini yang menyangkut tata cara pengelolaan serta hak dan kewajiban pihak penggadai maupun pegadaian.

Belakangan, bersamaan dengan munculnya bisnis perbankan syariah, muncul pula istilah gadai syariah, yang dalam hal ini ditawarkan dan dikelola oleh perbankan syariah. Ini, tentu saja, merupakan suatu hal yang sangat baru, karena selama ini bank tidak bertindak sebagai pegadaian. Kegiatan gadai-menggadai adalah transaksi muamalat dua pihak yang sifatnya personal, dan tidak pernah melalui pihak perantara, seperti bank. Bank adalah institusi yang berurusan dengan utang-piutang berbunga, dengan mensyaratkan suatu agunan, tapi sifatnya berbeda dengan jaminan sebagaimana yang ditransaksikan dalam gadai.

Dari asal-muasalnya saja kita sudah bisa mempertanyakan, apakah gadai yang ditawarkan oleh perbankan syariah dan diklaim sebagai "gadai syariah" itu benar-benar sesuai dengan syariah Islam?

Pegadaian atau Perbankan?

Secara umum bisnis bank adalah menganakpinakkan uang. Caranya ialah dengan membungakan uang. Prakteknya adalah dengan sewa-menyewakan uang. Bank, melalui suatu produk yang disebut dengan tabungan atau deposito, menawarkan jasa menyewa uang kepada nasabah dengan harga sewa tertentu, yang disebut sebagai bunga, lazimnya bulanan atau tahunan. Saat ini di Indonesia tarif sewa uang oleh perbankan ini adalah sekitar 6%/tahun.

Dari uang yang disewa dari orang lain dengan harga sewa 6%/tahun ini, pihak pemilik bank menyewakan lagi uang tersebut kepada nasabah, yang disebut debitur, dalam bentuk produk yang disebut kredit, untuk berbagai keperluan: pembelian rumah (KPR), pembelian motor (kredit kendaraan), membayar sekolah (kredit pendidikan), atau aneka keperluan lainnya. Tarif sewa yang dibebankan bank kepada debitur, tentu saja, lebih tinggi dari tarif sewa uang oleh pihak bank kepada deposan, saat ini sekitar 15-20%/tahun. Nah, dari selisih uang sewa 9-14% itulah, pihak bank menengguk keuntungan. Jadi uang (deposan) beranak uang (dari debitur).

Tetapi, meski sudah memperoleh laba besar, pihak bank tidak semudah itu menyewakan uangnya kepada debitur. Ada banyak syarat tambahan. Dua yang paling umum adalah agunan dan ekuitas. Jadi, untuk bisa menyewa uang kepada bank, calon debitur haruslah memiliki harta dulu, baik yang akan dipakai sebagai agunan maupun sebagai penyertaan modal (ekuitas). Di samping itu, biaya sewa uang ini (yang disebut bunga itu) lazimnya bersifat majemuk, yakni bunga-berbunga, tarif sewanya memiliki harga sewa tersendiri. Maka semakin panjang waktu sewanya semakin tinggi tarifnya. Sewa untuk 10 tahun lebih mahal dari sewa untuk 5 tahun atau 3 tahun, begitu seterusnya. Kalau terjadi keterlambatan dalam membayar uang sewa ini, tarif sewa itu semakin besar pula dengan berjalannya waktu.

Sedangkan gadai, sebagaimana telah diuraikan secara ringkas di atas, seharusnya tidak melibatkan transaksi seperti utang piutang, apalagi utang piutang berbunga. Benda gadainya itulah jaminan atas utang si debitur, dan tidak ada hubungan transaksional lain. Karena itu, gadai-menggadai, tidak pernah dilakukan dengan cara hitung-menghitung secara komersial, apalagi demi mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain gadai, pada mulanya, bukanlah bisnis, melainkan sebentuk jasa sosial dengan tujuan menolong seseorang yang tengah mengalami kesulitan finansial.

Gadai Syariah Emas dan Dinar Emas

Sekarang kita lihat bagaimana "gadai syariah' itu dipraktekkan, dalam hal ini yang belakangan sangat dipromosikan, yaitu gadai emas. Bila seseorang memerlukan uang maka ia akan menggadaikan emas yang dimilikinya kepada bank syariah. Maka, pihak bank syariah telah menyiapkan sebuah skema gadai, dengan sejumlah ketentuan:

  1. Emas milik nasabah akan dinilai dengan harga yang berlaku saat itu, tapi tidak dinisbahkan semuanya, melainkan hanya sekitar 95%.
  2. Dari harga taksiran yang 95% ini pihak bank akan mengabulkan gadainya dengan nilai utang (gadai) sebanyak sekitar 90%
  3. Kepada nasabah akan dikenai "biaya penitipan" yang meski ditetapkan secara fixed, sebenarnya ditentukan melalui perhitungan persentase terhadap nilai piutang yang diberikan pihak bank, yakni sekitar 1-1.1%/bulan, atau 12-13%/tahun.

Alhasil, secara de facto, "gadai syariah" ala perbankan syariah ini sama sekali berbeda dengan gadai dalam arti sebenarnya, melainkan merupakan utang-piutang berbunga, dengan fixed rate. Jadi, emas yang digadaikan, hanyalah sebagai "prasyarat" saja, atau bisa kita katakan, diperlakukan sebagai agunan, sebagaimana agunan yang dipersyaratkan dalam utang-piutang berbunga lainnya. Emas itu bukan merupakan jaminan atas utang-gadai pihak si penggadai kepada pegadaian. Kalau dihitung agunan emas ini hanya dinilai 70% saja dari nilai yang sebenarnya. Sedangkan bunga yang dikenakan atas uang pinjaman ini sekitar 12-13%/tahun.

Sebab kalau emas itu diperlakukan sebagai benda gadai, maka pihak pegadaian tidak dibenarkan mengambil keuntungan dari benda gadai itu. Dalam hal ini keuntungan yang diambil pihak bank, tidak lain adalah bunga dengan fixed rate, tetapi dimanipulasi dan disembunyikan sebagai "biaya titipan". Dalam syariat Islam, untuk urusan gadai, tanggung jawab atas penyimpanan benda gadai ini merupakan kewajiban pihak pegadaian bukan si penggadai.

Persoalan lebih jauh lagi adalah bila emas yang digadaikan itu berbentuk dinar emas. Lha, seseorang menggadaikan harta bendanya kan karena membutuhkan uang? Dinar emas adalah uang itu sendiri. Bagaimana mungkin uang digadaikan untuk mendapatkan uang? Apa lagi nilai uang yang digadaikan itu hanya diberi nilai 70% dari nilai sesungguhnya? Sebagaimana kita ketahui bersama, pertukaran "emas dengan emas", hanya bisa dilakukan dengan dua syarat mutlak: kontan dan jumlahnya sama banyaknya. Jadi, gadai dinar emas, adalah sebuah absurditas.

Bank adalah bank. Produk apa pun yang mereka tawarkan kepada masyarakat tidak akan beranjak dari bisnis dasarnya, yaitu sewa-menyewa uang, atau utang-piutang berbunga. Dengan atau tanpa label syariah di belakangnya.

Sumber : www.wakalanusantara.com

Friday 11 February 2011

Memahami Tidak Syar'inya Bank Syariah

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Berikut adalah catatan tambahan dari buku Tidak Syarinya Bank Syariah.

Untuk membahas masalah perbankan syariah ini, maka kalau diibaratkan persoalan ini sebagai sebuah pohon, kita harus bicara pada tiga tingkat yang berbeda: yaitu Akar, Batang, dan Ranting/Daun.

  • Akar dari persoalan yang harus dijernihkan adalah masalah batasan dan praktek Riba.
  • Batang dari persoalan yang harus didudukkan adalah soal posisi uang kertas.
  • Ranting/Daun dari persoalan adalah praktek perbankan syariah itu sendiri.

Dengan menelaah persoalan ini dari akar, batang, dan rantingnya, kita dapat sampai pada pengertian yang lengkap. Dan dengan memahami anatomi persoalan secara demikian kita menyadari bahwa praktek perbankan syariah itu hanyalah soal ranting-ranting dan daun saja, bukan persoalan pokok yang lebih penting, yakni menjernihkan pengertian riba dan posisi uang kertas.

Dasarnya Syariat Islam

Pembahasan masalah perbankan syariah, sebagai ranting dari persoalan pohon riba, juga harus dilakukan dengan kerangka yang sama, dalam hal ini kerangka hukum Islam (syariat). Dengan kata lain, dalam hal ini kita harus bersikap legalistik, fundamental, tetapi kontekstual, dengan melihat latar belakang ekonomi politik, tumbuh dan berkembangnya perbankan syairah itu sendiri.

Kita tahu perbankan syariah adalah sebuah bid'ah yang baru muncul di kalangan umat Islam kurang lebih dalam 70 tahun terakhir, bersamaan dengan runtuhnya pilar-pilar syariah yang lain. Perbankan syariah lahir dan berkembang bukan sebagai bagian dari penegakkan pilar syariah, tetapi sebaliknya sebagai bagian dari peruntuhan pilar syariah, melalui islamisasi kapitalisme (baca: penghalalan riba), untuk memastikan Islam tidak pernah kembali diamalkan.

Renungkanlah ini: mengapa bankir-bankir Yahudi dan kafirin lainnya saat ini paling banyak mengembangkan dan mengoperasikan bank syariah? Apakah mereka, kaum Yahudi dan kafirin itu - yang nota bene adalah pencipta, pengembang dan pelestari sistem riba - itu hendak menegakkan syariat Islam? Ataukah mereka hendak memastikan Umat Islam, satu-satunya umat yang masih menolak riba, untuk terjebak dan tetap berada dalam sistem riba mereka?

Selain legalistik dan kontekstual, memahami perbankan syariah, haruslah diposisikan berhadapan dalam cermin muamalat. Artinya pengertian konseptual, dan pemraktekannya dalam realitas sosial, yang kini disebut ekonomi syariat dan produk par excellen-nya, perbankan syariah, harus dihadapkan dengan konsep dan pemraktekan muamalat itu sendiri. Ini bisa dimulai, misalnya saja, mempertanyakan pernyataan dalam berbagai konsep dan praktek perbankan yang diklaim selalu disebut sebagai "SESUAI DENGAN PRINSIP-PRINSIP SYARIAH", dan bukan "SESUAI DENGAN SYARIAH".

Pertanyaannya sangat elementer: kenapa hal itu tidak dilakukan? Mengapa hanya menyesuaikan diri dengan "prinsip-prinsip", dan bukan praktisnya? Rasul SAW mengatakan "Al dinul al muamalat": Islam adalah perilaku. Islam adalah amal, bukan pinsip. Salat lima waktu adalah amal dengan prosedur dan tata cara tertentu, bukan "prinsip salat"; puasa, zakat, haji, pun demikian, adalah perilaku dengan prosedur dan tata cara tertentu, bukan "prinsip puasa", "prinsip zakat", "prinsip haji", dst.

Seperti halnya dosa atas riba dikenakan adalah ketika riba itu dilakukan, bukan dikonseptualisasikan di atas kertas. Daging babi adalah haram ketika dimakan atau diperjual-belikan. Ringkasnya muamalat pun adalah tindakan, dengan prosedur dan tata cara tertentu, bukan "prinsip muamalat". Apalagi syariat Islam. Bagaimana kalau saya tawarkan "prinsip zakat", "prinsip salat", "prinsip berhaji" - sementra praktisnya berbeda?

Mengabstraksikan syariat Islam menjadi prinsip-prinsip membuka lebar semua pintu penyimpangan atas syariat itu sendiri. Contoh sangat gamblang dan baik adalah apa yang kita lihat dalam Islamisasi ekonomi, dus islamisasi perbankan ini: di sana ada ekonomi, lalu ada ekonomi Islam, ada perbankan lalu ada perbankan Islam, ada pasar saham ada pasar saham Islam, ada kartu kredit ada kartu kredit Islam, ada rumah sakit ada rumah sakit Islam, ada sekolah ada sekolah Islam, begitu seterusnya.

Lalu yang tidak Islam mana?

Melalui penalaran yang samalah, para pendukung perbankan syariat memposisikan uang kertas, sebagai "sesuai dengan prinsip alat tukar", dan mengabaikan realitas substantifnya sebagai riba. Uang kertas harus dievaluasi substansinya sebagai alat tukar yang dapat digunakan untuk memenuhi keadilan bertransaksi atau tidak. Secara legalistik kita harus konsisten agar rukun bertransaksi, yakni keredhaan (antaraddin), kesetaraan (mithlan bi mithlin), dan keserentakan (yadhan bi yadhin), dapat dipenuhi.

Menegakkan Pilar Muamalat

Buku Tidak Syarinya Bank Syariah (TSBS) ditulis dengan kerangka tersebut di atas.

  • Posisinya adalah legalistik, penulis tidak mengajukan suatu opini di situ, dasar argumentasinya adalah hukum Islam.
  • Analisisnya historis kontekstual (untuk memperlihatkan realitas riba sebagai sistem dan uang kertas sebagai alat utamanya, serta perbankan - termasuk perbankan syariat - sebagai mesin penggeraknya).
  • Tawarannya adalah solutif: kembali kepada muamalat, dengan menuruti praksis dari umat Islam terdahulu, sebagaimana dijalankan oleh umat Islam di mana pun, dalam masa kapanpun, pada saat syariat masih dipegang dan dijalankan oleh umat Islam, termasuk di bumi Nusantara.
  • Pendekatannya adalah realistik, bukan idealistik, apalagi utopis: melalui pengamalan kembali Lima Pilar Muamalat, yaitu:
  1. Penerapan Kembali Dinar, Dirham dan Fulus;
  2. Pengorganisasian Pasar-Pasar Terbuka;
  3. Penggalangan Pedagang dan Perdagangan;
  4. Pengamalan Kembali Produksi Terbuka (Melalui gilda-gilda); serta
  5. Penerapan Kembali Kontrak-kontrak Bisnis dan Komersial (qirad, syirkat, muzara'ah, dsb) secara benar.

Dengan kembalinya pilar-pilar muamalat di atas pilar-pilar penting syariat lainnya yang kini roboh dapat ditegakkan: penarikan zakat secara benar, penerapan ketetapan tentang diyat dan hudud, penerapan hukuman dan sanksi secara benar, pengamalan kembali sunnah-sunnah seperti mahar, sedekah akekah, dan sejenisnya, secara benar pula.

Secara terperinci untuk selanjutnya silakan membaca buku Tidak Syari'nya Bank Syariah dengan hati yang jernih dan niat yang bersih, dengan landasan taqwa. Hilangkan rasa was-was dan khawatir tentang ini dan itu, karena itu adalah bisikan syetan, karena itu adalah suara nafs kita sendiri, dan bukan suara hati yang menuruti hidayah dari Allah SWT. Akan segera berakhirnya perbankan syariah ini, yang akan terjadi bersamaan dengan runtuhnya sistem riba secara keseluruhan yang melingkupinya, akan membuka pintu-pintu lain kepada yang halal. Sebab Allah SWT sudah menegaskan kepada kita "Orang yang makan riba tidak akan dapat berdiri tegak lantaran kerasukan syetan" dan bahwa "Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba."

Sebagai penutup, renungkan pernyataan dari Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis buku Perampokan Bangsa-Bangsa (Mizan, 2010) berikut ini: "Alih-alih menjadi penyedia solusi, bank-bank Islam juga bertanggung jawab terhadap masalah sosial-ekonomi yang terjadi karena sistem keuangan fiat [riba, pen.]," (lihat uraiannya pada bab 4 Bank-bank Islam dan Sistem Fiat Moneter buku tsb).

Lebih jauh menurut Prof Kameel mengatakan: perbankan syariah dan perbankan konvensional itu bukan cuma bersaudara kembar, tetapi adalah kembar siam! Dan pahamilah bahwa Prof. Kameel menunjukkan semua itu berdasarkan argumentasi akademis bukan berdasarkan dalil-dalil fikih - lain halnya dengan posisi TSBS yang memang legalistik.

Artinya, bila argumentasi akademis yang tak terbantahkan ini diterima, sungguh sangat tidak logis bila dalil-dalil yang mengharamkan perbankan konvensional [yang dipegang dan dianut oleh para pelaku perbankan syariah] tidak dapat digunakan untuk mengharamkan perbankan syariah.

Wallahua’lam bish shawab

Sumber : www.wakalanusantara.com